JAKARTA - Mabes Polri resmi meluncurkan Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (Inafis) Card, Selasa lalu. Ini kartus identitas untuk setiap warga negara. Di dalam kartu ini dibenamkan sebuah chip. Nah, chip itulah nanti yang akan menampung semua data si pemegang.
Lalu apa bedanya kartu Inafis ini dengan e-KTP yang kini sedang dikembangkan pemerintah dan hari-hari ini penduduk di DKI sedang antri membuat kartu ini? Toh di dalam e-KTP juga di pasang sebuah chip elektronik yang bisa memuat data si pemegang secara lengkap seperti sidik jari.
Kartu Inafis
Kartu ini dibikin via kepolisian. Bukan cuma data singkat sebagaimana yang ada dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) selama ini yang masuk di kartu ini, tapi lebih lengkap dari itu.
Selain nama, tempat tanggal lahir, foto, juga ada sidik jari, nomor kendaraan, nomor BPKB, nomor sertifikat rumah, dan bahkan nomor rekening di bank akan tertampung di situ.
Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komisaris Jenderal Sutarman, mengatakan antara kartu Inafis dan e-KTP yang diusung oleh Mendagri sangat jauh berbeda. Kartu Inafis merupakan bagian dari identifikasi penduduk secara keseluruhan dan sudah terdata dalam server komputer yang terpusat di negara.
Kepala Pusat Inafis Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Bekti Suhartono, menjelaskan bahwa kartu pintar ini, sangat mendukung penyidikan polisi. Selain data pemilik, terdapat pula catatan kriminal yang pernah dilakukan pemiliknya.
"Ketika membuat aplikasi kredit, bank bisa mempertimbangkan kalau dia memiliki catatan kejahatan," kata Bekti. "Garis besar perbedaan antara e-KTP dan Inafis itu, kalau inafis untuk mengungkap data tindak kejahatan." Kartu ini diharapkan bisa menghilangkan identitas ganda seseorang karena berbasis sidik jari.
Ada sembilan biometrik di tubuh manusia yang terdata dalam kartu ini. Diantaranya sidik jari, muka, hidung, telapak tangan, dan jejak kaki. "Kalau sidik jari di e-KTP, alur sidik jarinya kurang lengkap, untuk di Inafis itu lengkap dan pasti tidak terbantahkan," ucap Bekti meyakinkan.
E-KTP
Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta, Purba Hutapea, mengungkapkan ide awal pengadaan e-KTP bergulir untuk mencegah terjadinya manipulasi dan penggandaan data kependudukan. Karena itu, pemerintah mempersiapkan e-KTP yang disertai chip elektronik yang juga berisi data sidik jari.
Dengan metode baru ini, setiap warga hanya akan memiliki satu nomor induk kependudukan nasional (NIK). Nomor yang dimiliki warga akan mengkonversikan sejumlah kartu identitas seperti KTP, SIM, NPWP, visa, BPKB dan paspor.
"Tujuan e-KTP ini cukup jelas, menertibkan data administrasi kependudukan. Saat mengurus akte kelahiran, nomor induk nasional akan diterbitkan dan dijadikan nomor induk sekolah bagi anak-anak mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi," kata Purba.
Di dalam e-KTP memang tidak terdapat nomor rekening dan demografi. Dalam kartu Inafis, Bekti menambahkan, ada demografi pemilik yang berisi nama, tempat tanggal lahir, golongan darah, agama, nama anak dan nama istri jika sudah berkeluarga.
Kalau belum berkeluarga ada nama ayah dan ibu. Jadi pada saat bencana alam seperti tsunami, di mana semua dokumen hancur, yang ada hanya sidik jari jenazah.
Dengan sidik jari, bisa diketahui siapa identitas, termasuk data-data mengenai dia. "Akan menjelaskan punya tanah di mana. Semua administrasi kependudukan akan dijelaskan sistem ini," tamban Bekti.
Dengan kartu Inafis, seseorang yang terkena tilang pun dendanya dapat dipotong secara langsung. "Bayar tilang jadi tidak perlu lagi di persidangan, tapi terdebet dari rekening yang ada di data kartu ini," ucapnya
Dikutip/diedit dari vivanews.com
Rabu, 03 Juli 2013
Evaluasi E-KTP, Komisi II DPR Panggil Mendagri Usai Reses
Jakarta - Komisi II DPR memantau sejumlah kendala dalam realisasi e-KTP, termasuk dugaan pungutan denda keterlambatan pengurusan e-KTP. Komisi II DPR akan memanggil Mendagri usai reses 13 Mei mendatang.
"Mungkin pada masa sidang yang akan datang akan kita evaluasi secara keseluruhan secara maksimal. Mana yang sudah dan mana yang belum. termasuk juga kendalanya seperti bagaimana proses yang tercecer nanti kita minta Mendagri menjelaskan," kata Ketua Komisi II DPR, Agun Gunandjar, Minggu (6/5/2012).
Komisi II DPR akan mempertanyakan pemungutan denda keterlambatan pengurusan e-KTP. Menurut Agun denda seperti itu melanggar hukum.
"Keterlambatan nggak ada dendanya. Program kita tahun 2012 harus sudah selesai pendataan seluruh penduduk di Indonesia harus sudah ber e-KTP. Jadi posisinya saya tetap optimis karena masih bulan Mei dan sampai hari ini masih ada waktu cukup panjang,"katanya.
Menurut Agun, sosialisasi Kemendagri menyangkut e-KTP memang sangat kurang. Banyak masyarakat yang takut kalau e-KTP kemudian mempersulit pengurusan administrasi kependudukan lainnya.
"Dikhawatirkan oleh kami adalah partisipasi masyarakat yang tidak mau mengambil e-KTP karena tidak paham keterkaitan dengan kepemilikan tanah, bangunan dan sebagainya. Sampai sekarang ini kami belum menerima laporan lengkap. Kami akan menggelar rapat khusus evaluasi menyangkut e-KTP,"tandasnya.
Penerapan denda keterlambatan pengurusan KTP diberlakukan pada seluruh masyarakat di Pekanbaru. Siapapun warga yang telat memperpanjang KTP-nya didenda Rp 50 ribu sebulan.
Masyarakat akan melaporkan Walikota Pekanbaru yang membuat aturan denda tersebut ke Mendagri. "Kita akan bawa masalah ini ke Mendagri untuk meminta peninjauan ulang atas lahirnya perda yang mengatur denda berbunga tersebut," ujar Direktur Advokasi Publik, Rawa El Amady dalam perbincangan dengan detikcom, Sabtu (5/5/2012) di Pekanbaru. (van/van)
Dikutip/diedit dari detiknews.com
BPK : Ada Kerugian Negara Dalam Pembuatan E-KTP
JAKARTA - Program Penerbitan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Penerapan KTP Elektronik (e-KTP) berbasis NIK Nasional tahun 2011 mulai berjalan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan, program tersebut belum efektif dan tidak mematuhi peraturan Presiden nomor 54 Tahun 2010.
"BPK menemukan antara lain permasalahan ketidakefektifan sebanyak 16 kasus senilai Rp 6,03 miliar," kata Ketua BPK Hadi Poernomo di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (2/10).
Hadi menambahkan, dalam kasus pengadaan e-KTP ini tercatat ada 3 kasus pemborosan dengan taksiran mencapai, Rp 605,84 juta. Sementara itu dampak dari ketidakpatuhan pemerintah, mengindikasikan adanya kerugian negara sebanyak 5 kasus dengan nilai Rp 36,41 Milliar.
Tidak hanya itu, Hadi juga menerangkan, pihaknya juga menilai ada potensi kerugian negara dari 3 kasus yang dilakukan pemerintah dengan nilai mencapai Rp 28,90 milliar.
"Permasalahan tersebut disebabkan karena konsorsium perusahaan kontraktor e-KTP tidak dapat memenuhi jumlah pencapaian KTP elektronik tahun 2011 yang telah ditetapkan dalam kontrak," simpulnya.
Dikutip/diedit dari news.okezone.com
Terkait Penembakan Teroris, Wali Kota Minta Perangkat Desa Waspada
DENPASAR - Kasus penembakan terhadap orang-orang yang diduga teroris di Sanur dan di Jalan Gunung Soputan Denpasar, menjadi perhatian serius Walikota Denpasar I.B. Rai Dharmawijaya Mantra.
Pihaknya meminta aparat desa untuk lebih waspada mengantisipasi adanya ancaman kekacauan dan ketertiban di masyarakat. Semua pihak harus melakukan koordinasi, baik dengan tokoh masyarakat, aparat desa, sehingga ancaman seperti ini bisa diminimalisasi.
''Kami minta semua komponen masyarakat lebih meningkatkan kewaspadaan,'' ujar Wali Kota Rai Mantra saat ditemui usai rapat koordinasi dengan pimpinan SKPD, kepala desa, serta komponen masyarakat Denpasar, Senin (19/3) kemarin di Gedung Ksirarnawa, Denpasar.
Sementara itu, Kepala Desa Sanur Kauh I Made Dana membenarkan kasus penembakan orang-orang yang diduga teroris di wilayahnya di Jalan Danau Poso, tepatnya Banjar Belanjong. Pemilik hotel/bungalo tempat penggerebekan teroris itu merupakan warga Banjar Panti. ''Itu biasanya untuk short time dan juga bisa untuk menginap penuh,'' kata Dana, kemarin.
Made Dana mengatakan, sebelum kejadian, pihaknya melakukan penertiban administrasi kependudukan di tiga blok. Salah satu yang menjadi sasaran penertiban tim kependudukan Sanur Kauh adalah Jalan Danau Poso. Penertiban usai sekitar pukul 21.00 wita dan petugas akan kembali ke pos masing-masing.
Namun, belum sempat bubar, terdengar suara ledakan dan dikira petasan. Petugas poskamling memantau sumber ledakan. Namun sesampai di sana, petugas kepolisian sudah memblokir jalan di sekitar TKP. ''Karena itu, petugas kami diminta ikut mengamankan jalan tersebut,'' kata Dana.
Terkait pelaku yang tertembak, Dana mengasumsikan datang ke sana untuk memantau kondisi sekitar tempat itu. Terlebih, dalam waktu dekat akan ada keramaian pawai ogoh-ogoh. ''Mungkin mereka datang ke sana untuk survei lokasi,'' ujar Dana.
Belakangan aparat di Denpasar seperti petugas Satpol PP, kelurahan, pecalang dibantu aparat kepolisian memang gencar melakukan penertiban administrasi kependudukan.
Dalam operasi penertiban itu, lebih banyak terjaring para penduduk pendatang yang tidak melengkapi diri dengan kartu identitas seperti KTP dan sejenisnya. Tidak terendus dari operasi itu bahwa ada teroris tengah mengintai. Sialnya lagi, beberapa razia yang digelar aparat malah diduga bocor.
Bercermin dari kejadian terakhir, apa yang disampaikan Wali Kota Denpasar layak diperhatikan semua pihak. Terutama, para pengelola tempat penginapan maupun kos-kosan. Maklum, masih banyak dari mereka yang mengabaikan masalah ini.
Banyak penghuni penginapan dan kos-kosan yang tidak jelas identitas, pekerjaan maupun tujuannya. Karenanya, wajib hukumnya satiap warga masyarakat melaporkan bila menemukan orang-orang yang gelagatnya mencurigakan di sekitar lingkungannya. Jangan sampai kebobolan menerima teroris maupun pelaku kriminal lainnya.
Dikutip/diedit dari balipost.co.id
Waduh... Banyak Pasutri tak Miliki Surat Nikah
TERNATE - Banyak pasangan suami-istri di Provinsi Maluku Utara tidak memiliki surat nikah sehingga mengalami kesulitan dalam mengurus berbagai keperluan termasuk surat akte kelahiran anak.
Di Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), menurut anggota DPRD Halsel Asnawi Lagalante di Ternate, Senin (9/4), dalam kunjungan ke masyarakat terutama di Gane Timur, banyak menerima laporan dari masyarakat bahwa mereka belum memiliki surat nikah.
Pasangan suami-istri tersebut menikah sah secara agama, tapi tidak mencatatkan pernikahannya pada Kantor Urusan Agama setempat, karena berbagai alasan seperti tidak memiliki uang atau kurangnya pemahaman mereka mengenai pentingnya memiliki akte surat nikah.
Asnawi meminta kepada Pemkab Halsel untuk membantu pasangan yang belum memiliki surat nikah tersebut dalam mendapatkan akte surat nikah dengan memberikan penyuluhan serta kemudahan dalam pengurusannya.
Akte surat nikah tersebut memiliki fungsi yang sangat strategis, misalnya, sebagai syarat dalam mengurus akte kelahiran atau sebagai pegangan dalam proses hukum perdata jika pasangan bersangkutan akan melakukan cerai resmi.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial, Kependudukan dan Catatan Sipil Halsel Dahrun Samad ketika dihubungi mengakui bahwa di Halsel banyak pasangan suami-istri, terutama yang berada di wilayah pedesaan belum memiliki akte surat nikah.
Pemkab Halsel telah melakukan langkah-langkah untuk mengatasi hal tersebut, di antaranya dengan melakukan pernikahan massal bagi pasangan suami-istri yang belum memiliki akte surat nikah.
Menurut dia, hal ini dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan administrasi kependudukan dan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan ketentuan tentang perkawinan.
"Pemkab Halsel sudah dua kali melakukan pernikahan massal tersebut. Pertama pada Maret 2012 di Desa Galala dengan jumlah pasangan yang mengikuti nikah massal 150 pasangan," katanya.
Kemudian, pada penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) Tingkat Kabupaten Halsel di Kecamatan Gane Timur pada akhir pekan lalu kembali melakukan pernikahan massal bagi pasangan yang belum memiliki akta surat nikah dengan jumlah peserta pernikahan 620 pasangan.
Dikutip/diedit dari republika.co.id
Kualitas Penduduk Indonesia Masih Memprihatinkan
JAKARTA - Kualitas penduduk Indonesia masih cukup memprihatinkan. Ini ditandai dengan masih rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM) tahun 2011 yang berada di peringkat 124 dari 187 negara.
"Kualitas penduduk yang rendah ini juga tercermin dari tingginya angka kematian ibu melahirkan yang disebabkan oleh pendarahan, infeksi dan lainnya," kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Sugiri Syarief, dalam sambutan tertulis yang dibacakan Inspektur Utama BKKBN Mike Selfia pada Seminar Perempuan dan Keluarga Indonesia di Antara 7 Miliar Penduduk Dunia, di Jakarta, Selasa.
Menurut Sugiri, tingginya angka kematian ibu melahirkan ini terjadi akibat kehamilan pada usia remaja atau usia tua atau terlalu sering melahirkan.
"Tingginya angka kematian ibu melahirkan ditambah juga dengan kehamilan yang tidak diinginkan, akhirnya berujung pada aborsi yang tidak aman," kata Sugiri.
Karena itu, menurut Sugiri, program kependudukan dan keluarga berencana (KKB) akan memfokuskan sasaran pada keluarga agar kualitas penduduk dapat ditingkatkan lagi.
Menurut hasil pendataaan keluarga yang dilakukan BKKBN tahun 2010, terdapat 62,4 juta keluarga. Dan, setiap tahunnya diestimasikan terjadi penambahan keluarga baru sebanyak 1,5 juta keluarga.
"Mengingat potensinya yang sangat besar, keluarga merupakan unsur strategis yang menjadi sasaran program KKB," kata Sugiri.
Di bagian lain sambutannya, Sugiri juga mengemukakan, peran perempuan masa kini sangat penting, terutama dalam membantu pemerintah melakukan percepatan pencapaian sasaran tujuan pembangunan milenium (millennium development goals/MDGs) 2015.
Ini mengingat beberapa MDGs berkaitan erat dengan perempuan, yaitu mewujudkan pendidikan dasar untuk semua (MDGs ke-2), mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (MDGs ke-3), menurunkan angka kematian anak (MDGs ke-4), dan meningkatkan kesehatan ibu (MDGs ke-5).
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak Linda Amalia Sari Gumelar mengemukakan, pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender tidak semata-mata diarahkan kepada perempuan, namun juga laki-laki.
Kesetaraan gender mustahil akan terwujud jika kaum laki-laki tidak ikut berperan aktif dalam mendukungnya. Keluarga menjadi salah satu kunci faktor keberhasilan pembangunan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender.
Menurut Linda, dalam kaitan dengan pembangunan keluarga Indonesia dalam menghadapi penduduk dunia, penguatan lembaga keluarga harus diarahkan pada upaya melahirkan generasi berkualitas. Baik pertumbuhan fisik maupun kualitas perkembangan mental dan spritual. (Singgih BS)
Dikutip/diedit dari suarakarya-online.com
Kemendagri Jamin Tepat Waktu Serahkan Data Kependudukan ke KPU
JAKARTA - Kementrian Dalam Negeri menjamin data kependudukan yang akan digunakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyusun daftar pemilih akan diserahkan tepat waktu.
Jika merujuk pada jadwal pemungutan suara Pemilu 2014 yang digelar pada 9 April 2014, maka Kemendagri akan menyerahkan Data Agregat Kependudukan per Kecamatan (DAK-2) paling lambat pada 9 Desember tahun ini, atau 16 bulan sebelum hari coblosan seperti diatur Undang-Undang Pemilu.
Hal itu disampaikan Mendagri Gamawan Fauzi menanggapi kekhawatiran KPU yang menganggap Kemendagri lelet menyerahkan DAK-2 yang akan digunakan untuk melakukan verifikasi faktual tentang jumlah pendukung partai politik yang akan mengikuti Pemilu 2014.
Menurut Gamawan, pihaknya justru sudah mengirim data awal hasil perekaman data kependudukan hasil perekaman e-KTP ke KPU.
Data itu diserahkan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri ke KPU pada 2 Agustus lalu, sebagai sebagai respon atas surat KPU yang ditandatangani ketuanya, Husni Kamil Manik.
Pada 23 Juli, KPU meminta Kemendagri menyerahkan DAK-2 untuk menghitung jumlah minimal anggota pendukung parpol di tingkat kabupaten/kota sebagai syarat untuk lolos verifikasi faktual sebagai peserta Pemilu.
"Sudah kita serahkan. Suratnya tanggal 23 Juli, pada 2 Agustus kita respon dan kita serahkan berkasnya dengan lampiran per kabupaten/kota," ucap Gamawan di sela-sela acara buka puasa bersama di Jakarta, Rabu (15/8).
Dipaparkannya, sampai saat ini hasil perekaman e-KTP sudah mencapai angka 132 juta. Jumlah itu akan terus bertambah hingga diserahkan ke KPU pada Desember mendatang.
"Kasarnya kalau sehari kita merekam 500 ribu penduduk, artinya sampai Desember nanti masih ada waktu 120 hari lebih. Hasil perekamannya e-KTP bisa bertambah 60 juta" ucapnya.
Ditambahkannya, Kemendagri juga terus melakukan pembersihan terhadap penduduk yang dduga memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) ganda. Dari hasil perekaman e-KTP, masih saja ditemukan pemilik NIK ganda.
"Masih ada 400 ribu NIK ganda yang harus dibersihkan," sebutnya.
Sedangkan Dirjen Adminduk Kemendagri, Irman, mengatakan bahwa sudah lima provinsi menuntaskan perekaman e-KTP. Lima provinsi itu antara lain DKI Jakarta, Nangroe Aceh Darussalam, Bangka Belitung, Sumatera Selatan dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sedangkan Kapuspen Kemendagri Reydonnizar Moenek meminta KPU tak asal menuding Kemendagri lamban menyerahkan data kependudukan. Menurutnya, proses pendataan masih berjalan dan Kemendagri masih punya waktu cukup lama untuk menyelesaikannya.
"Kalau dituding Kemendagri lambat, itu yang menuding tak tahu undang-undang. Pelajari lagi undang-undangnya, kapan kita harus menyerahkan," kata Reydonnizar.
Sebelumnya, KPU mengkhawatirkan belum adanya data kependudukan yang akan digunakan untuk menentukan daerah pemilihan dan pemutakhiran data pemilih Pemilu 2014. KPU telah menetapkan dua tahap persiapan itu bisa dilakukan pada Desember tahun ini
Dikutip/diedit dari jpnn.com
Pemerintah-KPU Sepakati Jadwal Penyerahan Data Penduduk
JAKARTA - Pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyepakati jadwal penyerahan data kependudukan yang akan digunakan untuk daftar pemilih Pemilu 2014.
Penyerahan Data Agregat Kependudukan per Kecamatan (DAK2) akan diserahkan secara serempak oleh Kementrian Dalam Negeri dan Pemda ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan KPU provinsi maupun kabupaten/kota pada 6 Desember tahun ini.
Kesepakatan itu diambil setelah Mendagri Gamawan Fauzi menggelar rapat dengan KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di kantor Kemendagri, Selasa (28/8).
Dari kesepakatan rapat itu diketahui bahwa selain penyerahan DAK2 pada 6 Desember 2012, penyerahan Daftar Penduduk Potensial Pemilih (DP4) akan diserahkan pada Kamis, 7 Februari 2013.
Mendagri menguatakan, KPU telah menetapkan 9 April 2014 sebagai hari pemungutan suara. Mengacu pada UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, maka penyerahan DAK2 harusnya pada 9 Desember 2012.
"Tanggal yang kita sepakati (6 Desember 2012) justru lebih cepat dari jadwal," ucap Gamawan usai rapat dengan KPU dan Bawaslu.
Kesepakatan lainnya, setelah nantinya DAK dan DP4 diserahkan maka KPU tetap bisa meminta bantuan pemerintah pusat maupun pemda. Syaratnya, KPU mengajukan permintaan tertulis yang merinci waktu, jenis bantuan dan fasilitasi yang dibutuhkan.
"Kesepakatan ini akan ditindaklanjuti dengan MoU (nota kesepahaman)," sambung Gamawan.
Mantan Gubernur Sumatera Barat itu menjelaskan, sampai saat ini sudah 133 juta penduduk yang terekam dalam e-KTP. Targetnya hingga Oktober mendatang perekaman e-KTP sudah menjangkau 172 juta penduduk.
"Amanat Perpres (Perpres 67 Tahun 2011 tentang e-KTP) itu 31 Desember. Tapi kita upayakan agar lebih cepat," ucapnya.
Gamawan menjamin DAK2 dan DP4 yang akan diserahkan pemerintah ke KPU tidak akan memuat penduduk dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) ganda.
"Sudah kita bersihkan," pungkasnya.
Dikutip/diedit dari jpnn.com
Pemilu, Cukup Tunjukkan KTP
Departemen Dalam Negeri (Depdagri) melakukan langkah maju terkait sistem informasi dan administrasi kependudukan (SIAK). September nanti dimulai penggunaan nomor induk kependudukan bagi warga yang mengurus kartu tanda penduduk (KTP).Untuk merealisasikan penggunaan SIAK, pekan lalu Depdagri mengumpulkan perwakilan pemerintah kabupaten dan kota seluruh Indonesia ke Jakarta. Tindakan Depdagri itu merupakan langkah strategis sosialisasi pelaksanaan peraturan pemerintah (PP) Nomor 37/2007 tentang Pelaksanaan UU Administrasi Kependudukan. "Ini baru tahap sosialisasi. Nanti, kalau masih belum ada kemajuan, akan diterapkan sanksi. Jadi, sekarang diimbau dulu. Saya yakin, masing-masing daerah akan berbenah," ujar Sekretaris Jenderal Depdagri Diah Anggraeni usai membuka acara sosialisasi tentang PP 37/ 2007 di Hotel Kaisar, Kalibata, Jakarta.Menurut Diah, peraturan tentang pencatatan penduduk harus berpihak kepada kepentingan masyarakat. "Misalnya, untuk pendataan program akta kelahiran gratis, itu nyata dan konkret," ujarnya. Selain itu, daerah diminta tidak menggantungkan diri pada subsidi pusat. "Bantuan pendataan penduduk dari pusat itu bersifat stimulan. Jadi, jangan ada anggapan bahwa daerah harus menunggu dahulu, baru bekerja," katanya. Dalam beberapa proyek pembangunan, kata Diah, memang perlu standardisasi. "Yang sederhana, misalnya, pembuatan nomor induk penduduk atau KTP baru berbasis system administrasi kependudukan. Pusat memberikan klasifikasi untuk menghindari pemalsuan," kata Diah.Namun, tidak setiap program harus menunggu stimulan dari pusat. "Justru harus kreatif, nanti APBD juga ada sharing. persentasenya nanti diatur dengan peraturan tersendiri," tutur Diah. Di tempat yang sama, Direktur Jenderal Administrasi Kependudukan Depdagri (Dirjen Adminduk) Abdul Rasyid Saleh mengatakan, masyarakat harus proaktif mengisi formulir biodata penduduk. "Jangan khawatir dan ragu-ragu untuk mengisi," katanya. Kegiatan pemerintah itu merupakan bagian dari pemutakhiran dan penyiapan database kependudukan berupa sistem informasi dan administrasi kependudukan (SIAK).Dengan mengisi formulir tersebut, dimulailah pencatatan penduduk berdasar nomor induk kependudukan (NIK) yang mempunyai landasan hukum Undang-Undang (UU) Nomor 23/ 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Kemudian, diperkuat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37/2007 tentang Pelaksanaan UU Administrasi Kependudukan. Berkas tersebut mengatur NIK atau yang populer dikenal sebagai single identity number. Pemerintah bakal menerbitkan nomor tunggal yang berlaku seumur hidup dan tidak berubah setelah pencatatan biodata penduduk. "Semua diproses secara otomatis dengan SIAK," kata Rasyid. Menurut dia, selama ini, ketika membuat kartu tanda penduduk (KTP); blangko isian yang tersedia belum lengkap. Berbeda dengan formulir isian biodata penduduk warga negara Indonesia yang memuat 31 elemen. "Ke depan, diharapkan tak ada lagi celah dalam pencatatan semua peristiwa kependudukan," ujarnya. Walau PP tersebut ditandatangani presiden akhir Juni lalu, ternyata pendataan dan pemutakhiran data itu sudah berlangsung begitu UU Administrasi Kependudukan berlaku. Dirjen Adminduk pekan lalu mengirimkan surat kepada gubernur seluruh Indonesia. Surat itu mewajibkan bupati dan wali kota untuk melaporkan hasil pemutakhiran data kepada menteri dalam negeri lewat gubernur secara rutin tiap tiga bulan. Dia meminta pemerintah kabupaten dan kota yang mempunyai database kependudukan segera melakukan migrasi ke format SIAK.Dia mengatakan, penyiapan database tersebut bukan pekerjaan ringan, tapi juga tidak mustahil. "Beri kami waktu karena ini memang bukan sihir," ujarnya. Target kegiatan itu adalah tersedianya data pemilih untuk Pemilu 2009. Menurut dia, itu belum bisa 100 persen, tapi paling tidak 60-70 persen sudah siap. Dengan NIK yang berisi data lengkap pula, pemilu nanti tak perlu lagi kartu pemilih. "Cukup menunjukkan KTP, masyarakat bisa langsung mencoblos pemilu. Sebab, tingkat kepercayaan terhadap KTP sudah tinggi," katanya.Dia berani menjamin tak akan ada seorang warga yang mempunyai KTP lebih dari satu dengan NIK yang berbeda. Soalnya, ada proses otentifikasi yang berjenjang, mulai kelurahan hingga pusat. Dan, ada sanksi tegas kepada yang coba-coba memiliki KTP lebih dari satu. Menurut dia, sanksinya adalah penjara paling lama dua tahun dan denda hingga Rp 25 juta. PP baru itu juga mengatur, setiap penduduk akan memiliki nomor induk kependudukan (NIK) yang akan menjadi identitas tunggal, termasuk dalam pembuatan paspor, rekening di bank, dan surat izin mengemudi (SIM). "NIK akan ditetapkan secara nasional oleh Mendagri, tetapi tetap diterbitkan instansi pelaksana di kabupaten/kota," katanya.
Pemilih Potensial Pemilukada Kalbar Capai 3.6 Juta Jiwa
PONTIANAK – Penyerahan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar Tahun 2012 kepada Komisi Pemilihan Umum Provinsi Kalbar dilaksanakan Senin (23/4).
Jumlah DP4 tersebut sebanyak 3.639.810 jiwa pemilih atau 69,55 persen dari total penduduk Kalbar yang sebanyak 5.233.586 jiwa. Sekda Kalbar yang juga sebagai Penanggungjawab Pemutakhiran Data Penduduk Kalbar, M Zeet Hamdy Assovie mengatakan penyusunan DP4 merupakan pemutakhiran data penduduk yang diperoleh dari hasil pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil.
”Penyusunan DP4 ini merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota,” ujar Zeet saat penyerahan DP4 Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar Tahun 2012 di Balai Petitih Kantor Gubernur Kalbar, Senin (23/4).
Menurut Zeet, DP4 yang diserahkan kepada KPU Provinsi Kalbar adalah data pemilih yang benar-benar terekam dalam server database Sistem Informasi Administrasi Kependudukan, dan sudah memenuhi syarat sebagai pemilih berdasarkan sistem SIAK. Dari sistem SIAK ini menghasilkan database kependudukan yang terkini, mutakhir, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Ia menjelaskan dalam proses penyusunan DP4 tidak dilakukan proses pemutakhiran data penduduk melalui pencocokan dan pemilihan terhadap formulir F1 dan 01 seperti pemilukada sebelumnya. Hal ini dikarenakan pemerintah pusat sudah melakukan pemutakhiran data sebelumnya, yakni pada 2010.
Pemprov maupun pemerintah kabupaten dan kota hanya melakukan validasi dan akurasi data penduduk yang terdapat dalam server SIAK. ”Sehingga tanggungjawab dalam DP4 memastikan data pemilih terekam dalam database SIAK,” katanya.
Terkait dengan hasil verifikasi faktual dan validasi data pemilih oleh PPS (Panitia Pemungutan Suara) dibantu Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) di lapangan, jika ada perubahan data atau ditemukannya data pemilih baru yang belum masuk dalam DP4, sepenuhnya menjadi ranah KPUD.
Kepala Biro Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi Kalbar, Sopiandi menuturkan sesuai Keputusan KPU Provinsi Kalimantan Barat pada 6 Februari 2012, hari H dan tanggal pemungutan suara Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar dilaksanakan bersamaan dengan Pemilukada Walikota dan Wakil Walikota Singkawang, yakni Kamis (20/9).
”Untuk mempersiapkan DP4, Pemprov Kalbar melalui Biro Dukcapil telah menyelenggarakan pertemuan dengan Disdukcapil kabupaten kota, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten dan kota. Ada 2 kali rapat yakni 9 Februari dan 22 Maret 2012. Hasilnya jumlah DP4 tersebut sebanyak 3.639.810 jiwa pemilih atau 69,55 persen dari total penduduk Kalbar yang sebanyak 5.233.586 jiwa,” ungkap Sopiandi.
Gubernur Kalimantan Barat Cornelis menilai selama ini pejabat baik Bupati, Walikota, Kepala Dinas, Camat, maupun RT yang menangani kependudukan sering menganggap remeh persoalan tersebut. ”Selalu menanggap persoalan ini tidak penting,” kata Cornelis.
Ia berharap ketika DP4 ini nantinya keluar menjadi data pemilih sementara, dapat dipantau dengan baik. Jangan sampai data pemilih menjadi sumber keributan dalam pemilihan kepala daerah.
”Perlu data yang benar-benar akurat dan bisa dipertanggungjawabkan, terutama yang punya pulau terluar. Karena apapun, semua perencanaan sampai pertahanan keamanan berawal dari penduduk,” ujarnya.
Cornelis juga meminta Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil mengecek kembali data ganda di wilayahnya bersama kepala daerah, agar semuanya jelas. ”Di RRC saja yang penduduknya miliaran orang bisa terdata dengan baik. Yang terpenting adalah political will kepala daerah,” ujarnya, kemarin.
Ia menambahkan Pemerintah Provinsi Kalbar juga akan melakukan pendataan warganya yang menjadi tenaga kerja di luar negeri. ”Sehingga tahu berapa jumlah penduduk kita di Malaysia, Serawak, Sabah, dan Brunei Darussalam.
Sejauh ini belum ada pendataan,” katanya. Ketua KPUD Provinsi Kalbar, AR Muzammil mengungkapkan dengan penyerahan DP4, tahapan pelaksanaan pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar dimulai.
Penyerahan tersebut akan ditindaklanjuti dengan proses penyusunan data pemilih dan akan diserahkan ke kabupaten/kota, yang kemudian diserahkan lagi ke PPDP dan PPS. ”Nanti dimutakhirkan menjadi DPS dan ditetapkan sebagai daftar pemilih tetap untuk pemilu,” katanya.
Sementara itu Pemprov Kalbar meminta pemerintah kabupaten dan kota menghapus data ganda penduduk sebanyak 50 ribu jiwa. ”Untuk penghapusannya, sudah diberikan pemahaman kepada kabupaten dan kota.
Pemprov tidak bisa membiarkan ada data ganda,” ujar Sekda Provinsi Kalbar, M Zeet Hamdy Assovie.Zeet menjelaskan setiap bulannya pemprov selalu menerima back up data dari kabupaten dan kota untuk mengantisipasi data ganda. Hasilnya, terdeteksi ada data ganda penduduk sebanyak 63 ribu jiwa.
Upaya menyelesaikan persoalan data ganda tersebut, pada 7 sampai 9 Maret lalu dilakukan koordinasi dan fasilitasi administrator kabupaten dan kota, menggunakan aplikasi kabupaten dan kota maupun anomali pemerintah pusat.
Data ganda sebanyak 63 ribu tersebut dipilah. Hasilnya, dari jumlah tersebut ditentukan data penduduk tunggal sebanyak 13 ribu jiwa. ”Sedangkan 50 ribu jiwa data ganda tersebar di kabupaten dan kota. Sudah diserahkan ke kabupaten dan kota untuk dihapus,” kata Zeet.
Dikutip/diedit dari pontianakpos.com
Mendagri: Nomor Induk Kependudukan Tak Ikuti Perubahan Domisili
Jakarta - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mardiyanto mengatakan bahwa nomor induk kependudukan (NIK) tidak akan berubah seiring dengan perubahan domisili. "NIK” berlaku seumur hidup dan selamanya, tidak berubah dan tidak mengikuti perubahan domisili," kata Mendagri saat memberikan pengarahan pada rapat koordinasi nasional penyiapan data kependudukan menyongsong pemilu 2009 di Hotel Ibis Jakarta.
NIK merupakan database kependudukan yang dilakukan dengan penerapan sistem informasi administrasi kependudukan (SIAK). NIK ditetapkan secara nasional oleh menteri, tetapi diterbitkan oleh instansi pelaksana di kabupaten/kota. SIAK, merupakan instrumen pengolahan dan penyajian data hasil proses registrasi melalui pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Sesuai dengan RUU tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD (2009), data kependudukan harus diserahkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah kepada KPU dan KPUD paling lambat 12 bulan sebelum hari pemungutan suara.
Data kependudukan berupa data agregat kependudukan per kecamatan (DAK-2) dan daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) harus diserahkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah kepada KPU dan KPUD yang sudah diserahkan pada 5 April 2008, untuk kemudian dimutakhirkan secara terus menerus melalui pelayanan urusan administrasi kependudukan.
"Untuk mempercepat pembangunan database kependudukan, tahun 2006 Depdagri telah memberikan stimulan sarana dan prasarana SIAK (di antaranya berupa perangkat keras) kepada 100 kabupaten/kota," kata Mendagri. Tahun 2007, lanjut Mendagri, stimulan serupa diberikan kepada 313 kabupaten/kota dan 33 provinsi, sehingga diharapkan kabupaten/kota mampu memberikan pelayanan publik yang optimal dan menyediakan data informasi skala kabupaten/kota secara sistemik.
Mendagri menyebutkan, mengenai pendanaan pendataan, seluruhnya telah disiapkan oleh pemerintah pusat, karena tidak bisa menunggu APBN, maka pendanaan secara langsung diajukan kepada Presiden.
"Akhir tahun 2008, diharapkan seluruh kabupaten/kota telah mengimplementasikan SIAK dan mempunyai database kependudukan yang berbasis NIK Nasional," katanya.
Mendagri menambahkan, untuk pelayanan pencatatan sipil di daerah-daerah yang kondisi geografisnya terpencil, susah dijangkau dengan transportasi umum dan sangat terbatas akses pelayanan publiknya, dapat dibentuk unit pelaksana teknis dinas (UPTD) intansi pelaksana di tingkat kecamatan.
UPTD, berwenang melaksanakan pelayanan pencatatan sipil dan menerbitkan kutipan akta catatan sipil. UPTD berkedudukan di bawah dan bertangung jawab kepada instansi pelaksana.(*)
Pelayanan Satu Pintu Kurangi Beban Masyarakat Untuk Urus Akta Kelahiran
SOREANG, (PRLM).- Dinas Kependudukan dan Pecatatan Sipil (Disdukcasip) Kabupaten Bandung harus segera berkoordinasi dengan Pengadilan Negeri Bale Bandung (PNBB) dalam membuka pelayanan satu pintu bagi permohonan akta kelahiran yang terlambat lebih dari satu tahun. Dengan begitu, masyarakat tidak terbebani waktu dan biaya untuk pergi ke dua tempat yang berjauhan dalam pengurusan akta kelahiran.
Anggota Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bandung Cecep Suhendar mengaakan, pembuatan akta kelahiran adalah layanan mendasar yang berhak didapatkan masyarakat tanpa terbebani biaya. “Namun Undang-undang No 23 Tahun 2006 yang mengharuskan permohonan akta kelahiran dengan keterlambatan lebih dari satu tahun, ternyata membebani masyarakat baik dari segi biaya maupun waktu,” ujarnya Senin (30/4/12).
Cecep memaklumi jika Disdukcasip memang tidak bisa melayani permohonan akta yang terlambat lebih dari setahun, tanpa penetapan dari pengadilan. Namun, hal itu tidak lantas dijadikan alasan untuk tidak mencari cara untuk lebih memudahkan pelayanan. Terlebih dengan adanya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentag Perlindungan Anak Pasal 28 yang menyebutkan bahwa pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang harus diberikan paling lambat 30 hari setelah permohonan, dan tanpa biaya.
Pelayanan satu pintu, kata Cecep, adalah solusi terbaik untuk mempermudah pelayanan tanpa melanggar aturan yang ada. “Pada prinsipnya, Disdukcasip tinggal menyediakan satu ruangan baik di kantornya atau di ruangan lain di lingkungan Pemkab, untuk penyelenggaraan sidang penetapan pengadilan secara kolektif. Dengan nota kesepakatan tertentu, petugas pengadilan bisa diundang seperti saat mereka diundang untuk sidang tindak pidana ringan,” tuturnya.
Cecep menegaskan, ide pelayanan satu pintu juga sudah dibicarakan di tingkat pusat antara Kemendagri dengan Mahkamah Agung. Dalam surat No. 06/KMA/HK/01/1/2012 tertanggal 25 Januari 2012, Ketua MA sendiri sudah menyatakan persetujuan atas usul Mendagri yang dalam surat No 472.11/3394/Sj tertanggal 7 September 2011.
Pada intinya, tambah Cecep, MA sendiri sudah mempersilahkan pemerintah untuk berkoordinasi dengan seluruh pengadilan negeri di daerah untuk pelaksanaan sidang penetapan akta kelahiran secara kolektif. Bahkan terkait biaya, Ketua MA juga mempersilahkan pemerintah dan PN untuk membuat kesepahaman berdasarkan aturan dan teknis pelaksanaan di masing-masing daerah.
“Ini harus disikapi dengan cepat mengingat keluhan masyarakat terus terjadi. DI Kabupaten Bandung, langkah itu harus dipersiapkan dari sekarang. Dengan nota kesepakatan antara Disdukcasip dan PNBB, nantinya akan ada dasar hukum agar Disdukcasip menyediakan anggaran khusus untuk biaya penetapan pengadilan. Dengan begitu, biaya pengadilan untuk warga miskin bisa ditanggung Pemkab,” kata Cecep menjelaskan. (A-178/A-108)
Dikutip/diedit dari pikiranrakyat.com
Warga Sulit Cari KTP, Akta dan Jamkesmas
JOGJA - Warga wedi kengser atau yang tinggal di bantaran sungai di Kota Jogja menuntut hak. Pasalnya, selama ini mereka kesulitan untuk mendapatkan identitas sebagai warga Kota Jogja.
Persoalan yang dialami warga wedi kengser timbul karena mereka tinggal di tanah yang sebenarnya tidak diperbolehkan untuk tempat tinggal. Akibatnya persoalan demi persoalan muncul, mulai dari pembatasan layanan kartu kependudukan, layanan jaminan sosial, kesehatan dan lainnya.
Wignyo Cahyono, warga wedi kengser di Blunyahgede mengaku terpinggirkan dalam segi pemenuhan hak-hak hidupnya. Persoalan hak atas tanah kata Wignyo juga dialami hampir pada seluruh warga di bantaran sungai. Dia menyebut persoalan hak tanah menjadi inti dari serentetan persoalan yang mengikutinya.
“Sebenarnya yang utama ialah pemenuhan kebutuhan material kami, jika hak atas tanah kami masih saja dihalang-halangi seperti ini maka akan berimbas pada persoalan kebutuhan ekonomi, kebutuhan sosial, budaya kami,” katanya, akhir pekan lalu.
Untuk memperjuangkan hak warga wedi kengser, mereka sudah membentuk Paguyuban Rakyat Kampung Basis Pinggiran Sungai (Paku Bangsa).
Kini paguyuban tersebut telah memiliki anggota 10 kampung baik di bantaran Sungai Winongo, Code dan Gajahwong. Mereka tersebar di kampung Pogongrejo, Bluyahgede, Jetisharjo, Terban, Jogoyudan, Tukangan, Tegalpanggung, Ratmakan, Kricak dan Balirejo.
Untuk pendidikan, Wignyo mengaku sering mendapat keluhan dari warga bantaran sungai yang terpaksa gagal masuk ke sekolah negeri. Kegagalan itu disebabkan oleh beberapa faktor termasuk karena keterpinggiran hak-hak orangtua mereka.
Demikian juga untuk persoalan kesehatan warga kesulitan mendapatkan jaminan kesehatan masyarakat dari pemerintah karena ketiadaan administrasi. Adapun Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyebutkan beberapa kasus terkait dengan pembatasan hak warga bantaran sungai pernah ditanganinya.
Pelaksana Tugas Ketua Ombudsman Republik Indonesia (ORI) DIY-Jateng, Budhi Masturi kepada Harian Jogja menjelaskan, pihaknya pernah menangani kasus pembatasan hak warga bantaran sungai di kampung Sinduadi, Mlati, Sleman.
Menurutnya, warga di kampung itu tidak mendapatkan layanan catatan kependudukan (KTP) karena tidak mau membayar sewa atas lahan yang mereka tempati.
Sesuai catatan, para warga itu menempati lahan di bantaran sungai yang belum menjadi hak milik mereka, meskipun tempat itu sudah puluhan tahun mereka tempati.
“Pak lurahnya tidak mau menyetujui pembuatan KTP jika warga tidak mau membayar sewa lahan. Padahal antara pembayaran sewa lahan dengan pemenuhan kebutuhan hak kependudukan ini adalah persoalan yang berbeda. Dua masalah ini tidak bisa lantas dijadikan sebagai satu alur sebab akibat,” katanya, Rabu (16/5).
Budhi menjelaskan, dengan pembatasan layanan catatan kependudukan itu, berimbas pada berbagai layanan dan jaminan lainnya. Dia menilai KTP merupakan kartu identitas yang menjadi syarat wajib dalam kepengurusan administrasi masyarakat.
“Mana bisa sekarang ngurus sesuatu tanpa menggunakan KTP, mau mengurus apa saja syarat utamanya adalah KTP, apalagi mau menikah resmi pasti pakai KTP. Nah, jika KTP saja tidak punya atau dipersulit maka secara langsung mereka juga dipinggirkan atas hak-haknya yang lainnya,” jelasnya. Kasus tersebut sempat mencuat beberapa waktu lalu, dan ORI telah melakukan mediasi atas kasus tersebut.
Pendataan
Terpisah, Pemerintah Provinsi DIY mengakui ada ratusan warga bantaran sungai yang tidak memiliki identitas resmi berupa KTP. Mereka tidak punya identitas bukan karena pemerintah mempersulit birokrasi, tetapi justru masyarakatnya yang sulit didata.
Kepala Bagian Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda Provinsi DIY Riyadi Mujiarto mengatakan, warga bantaran sungai itu biasanya tidak memiliki dokumen awal. Mereka biasanya orang telantar yang statusnya pendatang kemudian sudah tinggal bertahun-tahun dan beranak pinak. Saking lamanya sudah seperti warga asli setempat.
Jika ingin mendapatkan identitas cukup dilakukan pendataan ulang. Dengan menyerahkan dokumen dari tempat mereka berasal. Jika memang dokumennya resmi pemerintah akan dengan senang hati menerbitkan identitas sesuai dengan tempat tinggalnya. “Memang warga yang seperti itu harus membuat permohonan untuk melakukan pendataan awal jika ingin memiliki KTP,” katanya.
Namun kenyataan di lapangan, upaya pemerintah mendata seperti itu tidak mudah. Terkadang warga yang bersangkutan enggan mengajukan permohonan KTP. Kemudian saat petugas datang meminta dokumen awal dari tempat dia berasal tidak bisa menunjukkan. Kemungkinan di tempat asal punya konflik lingkungan sampai tidak punya identitas.
Dengan kasus seperti itu pemerintah sudah pasti menyatakan penduduk itu ilegal dan tidak bisa menerbitkan KTP Jogja begitu saja. Namun ada cara lain, dengan dengan mengisi data pribadi kemudian akan diterbitkan surat keterangan tinggal sementara dalam jangka waktu satu tahun.
Selama satu tahun akan dievaluasi apakah yang bersangkutan diterima atau tidak oleh lingkungan dengan keterangan RT/RW setempat. “Kalau proses itu bisa dilalui pemerintah akan menerbitkan KTP dan disusul penerbitan Kartu Keluarga,” imbuh Riyadi.
Pilihan cara kedua itu ternyata tidak banyak yang dimanfaatkan warga yang belum beridentitas. Masyarakat menginginkan pemerintah yang turun untuk membuatkan KTP tanpa harus meninjau dokumen. Hal itu tidak memungkinkan.
Dikutip/diedit dari solopos.com
Mendagri Tak Khawatir Data E-KTP Disadap Singapura
JAKARTA - Saat ini data base kependudukan hasil perekaman Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) tersimpan di gedung Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kemendagri, Kalibata, Jakarta.
Mendagri Gamawan Fauzi khawatir, jika suatu waktu ada bencana, misal gempa atau kebakaran, data base penting itu bisa hancur semua. Padahal, biaya untuk akurasi data penduduk lewat proyek e-KTP, sangat besar.
Nah, untuk mengantisipasinya, maka dibuat data base cadangan, yang disimpan di lokasi yang dianggap aman. Gamawan ngotot, Batam adalah lokasi yang dianggap aman.
"Apalagi di Batam sudah ada tempatnya untuk menyimpan data itu, tinggal menyewa saja. Batam kan relatif jauh dari bencana. Kalau misalnya di Sumbar, bisa kena gempa," ujar Gamawan.
Sebelumnya, rencana Gamawan ini ditentang sejumlah anggota Komisi II DPR. Achmad Muqowam misalnya, dia khawatir jika data base kependudukan di simpan di Batam, maka bisa disadap Singapura.
"Harus diperjelas dulu, kenapa pemerintah memilih Batam sebagai lokasi penempatan data center e-KTP. Apa ada jaminan, data-data penting tersebut terjaga kerahasiannya dan tidak akan terbaca oleh Singapura," kata Achmad Muqoam, beberapa hari lalu. Wakil Ketua Komisi II, Abdul Hakam Naja juga berpendapat sama. Politisi PAN ini menilai, sangat berbahaya menempatkan data center e-KTP di Batam.
Gamawan tetap yakin bahwa Batam aman dan tak bakal disadap Singapura. Dikatakan mantan gubernur Sumbar itu, berdasarkan masukan Lembaga Sandi Negara, jaraknya dekat bukan berarti mudah disadap.
"Kalau Lembaga Sandi Negara sudah mengatakan begitu, ya saya berani jamin tak ada masalah," cetus Gamawan. Dikatakan, Lembaga Sandi Negara juga akan dilibatkan dalam penempatan data penting ini.
Idealnya, katanya, data cadangan bukan hanya satu saja, melainkan dua atau bahkan tiga. Untuk sementara, di Batam saja dulu. Sebelumnya, Kalimantan juga menjadi alternatif. "Tapi yang di Batam sudah ada lokasinya," imbuhnya.
Rencananya, penempatan data di Batam ini akan dilakukan awal 2013, tatkala perekaman e-KTP sudah kelar. Berapa anggarannya? "Saya nggak tahu. Saya hanya kebijakannya saja," pungkasnya.
Dikutip/diedit dari jpnn.com
Surat Edaran MA Tentang Pendaftaran Akta Kelahiran
Jakarta - Mahkamah Agung (MA) membuat Surat Edaran MA (SEMA) yang menyatakan pendaftaran akta kelahiran lebih dari 1 bulan pasca kelahiran bisa didaftarkan secara kolektif ke pengadilan. Hal ini disambut baik oleh Kementerian Dalam Negeri dan menyatakan SEMA tersebut sesuai usulan kementerian.
"SEMA ini memudahkan pencatatan sipil, menjadi bagian yang tidak terpisahkan," kata Kapuspen Kemendagri Reydonnyzar Moenek dalam jumpa pers di kantornya, Jalan Medan Merdeka Utara, akarta Pusat, Senin (10/9).
SEMA ini sudah ditunggu sekian lama oleh Kemendagri guna memudahkan pencatatan sipil. Pihak Kemendagri juga sudah berulang kali berkoordinasi dengan MA untuk mencari solusi pasal 32 ayat 2 UU No 23 Tahun 2003 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam pasal tersebut dikatakan pencatatan kelahiran yang dilaporkan melampaui batas waktu satu tahun dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri.
"Saya berani yakin, SEMA itu bagian tak terpisahkan dari koordinasi kami dengan MA untuk memberikan kemudahan dan fasilitasi terhadap masyarakat yang memiliki keterlambatan melakukan pencatatan akte kelahiran kepada catatan sipil," papar pria yang biasa dipanggil Donny.
Nah, salah satu contoh pihak yang mendapat dampak positif dengan keluarnya SEMA ini yaitu para anak jalanan. Selama ini mereka tidak memupunyai akta kelahiran sehingga tidak mendapat jaminan sebagai warga negara. Dengan pencatatan kolektif ini maka anak jalanan dan masyarakat marginal dapat mengakses hak-haknya.
"Kami menyambut baik dan siap berkoordinasi untuk memberikan kemudahan misalnya seperti untuk anak jalanan, yang penting mereka bisa menyebutkan nama ibunya saja, cukup untuk memiliki akta kelahiran," ucap Donny.
Seperti diketahui SEMA No 6 Tahun 2012 ditandatangani oleh Ketua MA Hatta Ali pada 6 September 2012 lalu. SEMA ini menjadi solusi fakta di lapangan banyak pencatatan kelahiran yang terlambat, terutama dialami oleh masyarakat miskin dan marginal. Padahal mereka membutuhkan penetapan pengadilan untuk pencatatan akta kelahirannya.
Dikutip/diedit dari detiknews.com
Enam Daerah Belum Selesaikan E-KTP
PASAR - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi, menegur enam kepala daerah di Jambi yang belum menyelesaikan pelaksanaan e-KTP tepat waktu. Dia memberi waktu hingga Oktober 2012 untuk menyelesaikan program e-KTP.
“Program ini upaya kita meningkatkan keamanan, ketentraman, dan ketertiban umum, serta tertib administrasi kependudukan untuk menyukseskan pemilu legislatif dan pilpres 2014 di Provinsi Jambi,” katanya, dalam rapat Forkopinda Semester II dan Rakor Camat Catur Wulan II 2012 di Abadi Convention Center (ACC), kemarin (17/7).
Sementara yang telah mencapai 100 persen adalah lima kabupaten kota. Di antaranya, Kabupaten Merangin dengan hasil 189.788 jiwa dari target 189.648, Sarolangun sebesar 130.599 dengan target 130.484, Muarojambi dengan hasil 161.637, dengan target 160.213, Kabupaten Tebo sebesar 153.598 dari target 149.362, dan Kota Jambi dengan hasil 270.353 dari target 267.311.
Sedangkan enam daerah yang belum mencapai 100 persen, Kabupaten Tanjab Barat 26.110 dari target 202.579, Kerinci 318.843 dari target 188.590, Batanghari sebesar 56.031 dari target 139.480, Tanjab Timur 47.876 dari target 169.600, Bungo 116.011 dari target 173.819, Sungaipenuh 9.370 dari target 53.676, dan Tanjab Barat 26.110 dari target 202.579.
Sementara itu, Gubernur Jambi Hasan Basri Agus (HBA) mengatakan, program e-KTP telah mulai dilaksanakan sejak 2010. Hanya saja, secara massal baru dilakukan pada 2011. “Beberapa daerah ada yang selesai pada 30 April 2012 lalu,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Gamawan juga mengingatkan kepala daerah dan DPRD tidak selalu ribut, demi menciptakan kinerja yang baik. Menurutnya, pertengkaran antar lembaga negara hanya akan membawa petaka. Imbasnya, pembangunan terbengkalai dan masyarakat tambah sengsara.
“Tak ada larangan dewan mengkritisi kepala daerah. Tapi jangan terus-terusan. Kalau bertengkar, jangan lebih dari enam bulan,” kata mantan Gubernur Sumatera Barat itu. Dia mengatakan, harus ada keseimbangan antara DPRD dan kepala daerah. Meski berperan sebagai lembaga pengawas, bukan berarti DPRD hanya bisa mengkritisi.
“Saya ingatkan kepada ketua DPRD, Anda juga sebagai bagian dari unsur penyelenggara pemerintah. DPRD tak boleh perang habis-habisaan dengan eksekutif. Harus ada cek dan balance. Perbedaan itu hikmah, bukan untuk hancur-hancuran,” katanya.
Gamawan juga mengingatkan para bupati dan wali kota, menghargai posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Ia menegaskan, jangan mentang-mentang telah mendapat mandat lantaran dipilih secara langsung oleh rakyat, bisa seenaknya dan enggan menghargai posisi gubernur.
“Kalau menteri tangan kanan presiden, maka gubernur tangan kiri presiden,” katanya. Dia mengatakan, memang sistem demokrasi memberi ruang bagi kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal ini bukan berarti kepala daerah punya kewenangan penuh mengelola daerah.
“Kepala daerah punya wewenang karena diberikan mandat dan kewenangan dari presiden. Jadi sebenarnya, kewenangan kepala daerah itu mandat turunan dari presiden selaku lembaga penguasa negara. Kalau ada kepala daerah yang tidak selaras dengan presiden, berarti dia belum baca pasal 18 UUD 1945,” jelasnya.
Gamawan juga sedikit menyentil daerah yang belanja aparaturnya di atas 60 persen. “Jangan sampai terjadi ada APBD yang mayoritas tersedot untuk belanja pegawai. Mana untuk masyarakat? Inilah yang patut dikritisi. Efektiflah mengelola anggaran,” katanya dalam acara yang dihadiri seluruh muspida, bupati, ketua DPRD dan camat se-Provinsi Jambi.
Dikutip/diedit dari jambi-independent.co.id
Kemendagri Bolehkan Ahmadiyah Mengaku Islam di E-KTP
Jakarta - Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kapuspen Kemendagri) Reydonnyzar Moenek mengaku, lembaganya memperbolehkan warga Ahmadiyah dan aliran Sunda Wiwitan mengisi agama Islam pada kolom agama di e-KTP.
“Itu hak mereka, mengisi Islam atau mengosongkan kolom agama di e-KTP,” ucap Reydonnyzar, Rabu (12/09).
Biar bagaimanapun, tambah Reydonnyzar, warga Ahmadiyah dan aliran kepercayaan Sunda Wiwitan di Kuningan harus diberikan pelayanan pengisian folmulir e-KTP.
Masalah agama dan kepercayaan menurutnya, bukan hal yang menghalangi warga negara untuk tidak mendapatkan kartu identitas penduduk.
“Mereka wajib dapat e-KTP, tidak ada kaitannya dengan kepercayaan mereka. Ini hak masyarakat dan kewajiban negara,” tambahnya.
Seperti diketahui, Pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, hingga awal September ini belum mendata warga Ahmadiyah dan aliran Sunda Wiwitan untuk pembuatan e-KTP.
Pihak Pemkab Kuningan masih menunggu keputusan dari Kemendagri di Jakarta.
Hal ini disebabkan Pemerintah Kabupaten Kuningan tidak memiliki kewenangan karena belum ada peraturan dari pemerintah pusat.
Sebelumnya, saat muncul polemik Ahmadiyah dalam kasus Cikeusik, berbagai kalangan mengusulkan agar Ahmadiyah berani mendeklarasikan diri membuat agama sendiri selain Islam. Langkah ini dikemukakan guna menghindari konflik yang sering terjadi.
"Kalau warga Ahmadiyah tidak mengatasnamakan Islam, masalah ini sudah selesai. Tapi kan, meminta Ahmadiyah keluar dari Islam tidak mudah, tak mudah merubah keyakinan seseorang. Ini yang kemudian terjadi gesekan-gesekan seperti kejadian di Cikeusik,” ujar Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Hasyim Muzadi.
Pendapat serupa juga diambil Ketua PBNU, H. Slamet Effendy Yusuf. Menurut Slamet, langkah ini dinilai tepat karena keberadaan Ahmadiyah sudah lama eksis dan sulit ditiadakan.
”Banyak aliran-aliran dan itu terlindungi, tanpa harus menjadi agama,” kata dia saat berdialog dengan Gerakan Peduli Pluralisme (GPP), di Gedung PBNU, Jakarta, Rabu (06/09).
Dikutip/diedit dari hidayatullah.com
Langganan:
Postingan (Atom)