Rabu, 03 Juli 2013
Kemendagri Bolehkan Ahmadiyah Mengaku Islam di E-KTP
Jakarta - Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kapuspen Kemendagri) Reydonnyzar Moenek mengaku, lembaganya memperbolehkan warga Ahmadiyah dan aliran Sunda Wiwitan mengisi agama Islam pada kolom agama di e-KTP.
“Itu hak mereka, mengisi Islam atau mengosongkan kolom agama di e-KTP,” ucap Reydonnyzar, Rabu (12/09).
Biar bagaimanapun, tambah Reydonnyzar, warga Ahmadiyah dan aliran kepercayaan Sunda Wiwitan di Kuningan harus diberikan pelayanan pengisian folmulir e-KTP.
Masalah agama dan kepercayaan menurutnya, bukan hal yang menghalangi warga negara untuk tidak mendapatkan kartu identitas penduduk.
“Mereka wajib dapat e-KTP, tidak ada kaitannya dengan kepercayaan mereka. Ini hak masyarakat dan kewajiban negara,” tambahnya.
Seperti diketahui, Pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, hingga awal September ini belum mendata warga Ahmadiyah dan aliran Sunda Wiwitan untuk pembuatan e-KTP.
Pihak Pemkab Kuningan masih menunggu keputusan dari Kemendagri di Jakarta.
Hal ini disebabkan Pemerintah Kabupaten Kuningan tidak memiliki kewenangan karena belum ada peraturan dari pemerintah pusat.
Sebelumnya, saat muncul polemik Ahmadiyah dalam kasus Cikeusik, berbagai kalangan mengusulkan agar Ahmadiyah berani mendeklarasikan diri membuat agama sendiri selain Islam. Langkah ini dikemukakan guna menghindari konflik yang sering terjadi.
"Kalau warga Ahmadiyah tidak mengatasnamakan Islam, masalah ini sudah selesai. Tapi kan, meminta Ahmadiyah keluar dari Islam tidak mudah, tak mudah merubah keyakinan seseorang. Ini yang kemudian terjadi gesekan-gesekan seperti kejadian di Cikeusik,” ujar Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Hasyim Muzadi.
Pendapat serupa juga diambil Ketua PBNU, H. Slamet Effendy Yusuf. Menurut Slamet, langkah ini dinilai tepat karena keberadaan Ahmadiyah sudah lama eksis dan sulit ditiadakan.
”Banyak aliran-aliran dan itu terlindungi, tanpa harus menjadi agama,” kata dia saat berdialog dengan Gerakan Peduli Pluralisme (GPP), di Gedung PBNU, Jakarta, Rabu (06/09).
Dikutip/diedit dari hidayatullah.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar